Artikel Kebiasaan Belajar di Rumah dapat Meningkatkan Prestasi Hasil Belajar di Sekolah oleh Drs. Agus Subandi Guru SMAN 5 Karawang
Minggu, 20 Maret, 2011 04:54
Dari:
Pengirim ini DomainKeys-nya telah diverifikasi
"Agus Subandi"
Tambahkan Pengirim ke Kontak
Kepada:
sekretariat@republika.co.id
Cc:
agussubandicom@yahoo.co.id
KEBIASAAN BELAJAR DI RUMAH AKAN MENINGKATKAN PRESTASI HASIL BELAJAR DI SEKOLAH
Oleh : Drs. AGUS SUBANDI Guru SMAN 5 Jl. A. Yani No. 10 Karawang 41314
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tanggung jawab pendidikan terletak pada orang tua, sekolah (pemerintah) dan masyarakat. Ahmad Tafsir menyebutkan bahwa tanggung jawab guru hanya ketika berada di sekolah. Sedangkan setelah siswa pulang dari sekolah menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Yang lebih banyak adalah orang tua, karena waktu untuk berada di masyarakat terbatas.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang mempunyai kecenderungan belajar. (M. Arifin, 2009 hlm. 106) Belajar adalah perubahan tingkah laku akibat pengalaman (Edward Walker, 1967). Juga dapat diartikan sebagai suatu proses yang membawa perubahan dalam cara pandang seseorang menaggapi dan memberikan respon sebagai hasil dari hubungannya dengan sekitar. (Floyd L. Ruch, 1963).
Sebagian orang beranggapan bahwa belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi / materi pelajaran. Orang yang berangapan demikian biasanya akan segera merasa bangga ketika anak-anaknya telah mampu menyebutkan kembali secara lisan (verbal) sebagian besar informasi yang terdapat dalam buku teks atau yang diajarkan guru. (Muhibbin Syah, 2003, hlm. 64)
Rasulullah Saw. bersabda sebagai berikut :
Artinya “ Menuntut ilmu itu fardhu atas setiap muslim “. (H.R Ibnu Adi dan Al Baihaqi dari hadis Anas).
Amir Syarifuddin dalam Ushul Fiqh mengatakan bahwa “Wajib adalah sesuatu yang dituntut oleh syara’ (pembuat hukum) untuk melaksanakannya dari setiap pribadi dari pribadi mukallaf (subjek hukum). Kewajiban itu harus dilaksanakan sendiri dan tidak mungkin dilakukan oleh orang lain atau karena perbuatan orang lain. (Amir Syarifuddin, 1997, hlm. 296)
1
2
Menurut al-Ghazali, ilmu yang fardhu ‘ain atas setiap umat Islam adalah ilmu-ilmu agama dengan segala macamnya. Di mulai dari al-Qur’an, kemudian pokok-pokok ibadah seperti masalah shalat, shiyam, zakat, hai dan lain-lainnya. Al-Ghazali mendefinisikan ilmu yang fardhu ‘ain sebagai “ Ilmu tentang tata cara melakukan perbuatan yang wajib. Maka barang siapa mengetahui ilmu yang wajib, dan kapan waktunya, ia telah mengetahui ilmu yang fardhu ‘ain “. (Fathiyah Hasan Sulaiman, 1990, hlm. 26)
Perkembangan manusia berawal dari kegiatan belajarnya, dan kegiatan belajar itu berlangsung melalui proses sejak lahir sampai meninggal dunia (minal mahdi ilal lahdi). Proses belajar yang berhasil guna adalah jika tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai secara tepat guna. Jadi, proses belajar adalah kegiatan yang berarah dan bertujuan. (M. Arifin, 2009, hlm. 106)
Tujuan evaluasi adalah untuk mengetahui tingkat kemajuan yang telah dicapai oleh siswa dalam suatu kurun waktu proses belajar tertentu. Hal ini berarti dengan evaluasi guru dapat mengetahui kemajuan perubahan tingkah laku siswa sebagai hasil proses belajar dan mengajar yang melibatkan dirinya selaku pembimbing dan pembantu kegiatan belajar siswanya itu. (M. Arifin, 2009, hlm. 140)
Ketika para siswa menerima raport dari hasil evaluasi belajar tiap smester, maka yang dilihat adalah seluruh nilai-nilai yang tercantum di dalam raport tersebut. Ada yang bangga dan senang karena mendapat prestasi baik, ada yang tidak senang karena kecewa dengan nilai-nilai yang ada bahkan ada yang tidak bereaksi sebagai akibat kurangnya memperhatikan terhadap angka-angka yang ada karena bingung tidak memiliki tujuan.
Sikap orang tua ketika menerima hasil raport anak-anaknya juga beragam, ada yang senang dan langsung merespon dengan sejumlah motivasi untuk lebih meningkatkan prestasi belajar. Ada yang tidak mempedulikan lantaran kesibukan orang tua atau latar belakang pendidikannya yang minim, sehingga hasil yang ada di raport tidak mendapatkan respon bahkan tidak tahu maksud nilai-nilai tersebut. Yang diketahui apakah anak-anaknya naik kelas atau lulus dengan tidak mempersoalkan nilai-nilai hasil prestasi yang ada.
3
Bagi guru dan sekolah yang menginginkan agar para siswa-siswanya berprestasi baik di lingkungan kelas atau sekolahnya bahkan berprestasi antar sekolah atau antar daerah baik di tingkat nasional maupun sampai internasional, maka sejumlah motivasi dan fasilitas demi lancarnya belajar hingga memperoleh prestasi yang membanggakan telah disediakan bahkan kemudahan-kemudahan dalam mengikuti segala proses hingga prestasi itu diraih dengan berbagai hadiah-hadiah demi meningkatkan semangat dalam miningkatkan prestasi-prestasi yang dihasilkannya.
Berprestasi baik akan membanggakan semua orang, namun berprestasi buruk siapa yang akan dipersalahkan atau siapa yang sebenarnya lebih dahulu merasa bertanggung jawab. Apakah siswa itu sendiri lantaran tidak mau belajar dan susah untuk membiasakan belajar baik di rumah maupun di sekolah, namun tetap ingin sekolah dan diakui sebagai siswa.
Bila usia siswa telah dewasa seperti di bangku Sekolah Menengah, maka tingkat ketergantungan kepada orang lain semakin sedikit, kecuali bila mengalami kesulitan belajar akan meminta bantuan baik kepada guru maupun teman-teman yang bisa diajak untuk bekerja sama dalam belajar dan memecahkan persoalan-persoalan belajar. Bahkan tingkat pengawasan orang tua tidak terlalu ketat, lantaran sudah terbiasa memikul beban serta tanggung jawab dari apa yang ditugaskannya di sekolah demi cita-cita yang diinginkannya.
Persoalan muncul pada para siswa yang tidak memiliki cita-cita karena kurang diperhatikan oleh kedua orang tuanya di rumah. Hal ini juga berpengaruh terhadap kehidupannya diakibatkan lingkungan masyarakat yang tidak mendukung terhadap budaya berpendidikan bagi para siswa-siswa. Artinya masyarakat tersebut lebih mementingkan persaingan hidup baik faktor ekonomi, sosial maupun politik.
Atas dasar pemasalahan tersbut di atas, penulis hendak mengadakan Penelitian Tindakan Kelas dengan judul “ KEBIASAAN BELAJAR DI RUMAH DAPAT MENINGKATKAN PRESTASI HASIL BELAJAR SISWA DI SEKOLAH “.
4
A. Identifikasi Masalah
Dalam penelitian ini penulis mengambil siswa kelas X 8 SMA Negeri 5 Karawang tahun ajaran 2010/2011.
Siswa berasal dari keluarga. Keluarga adalah masyarakat terkecil yang memiliki tugas dan tanggung jawab dalam mengembangkan pendidikan informal. Kebiasaan di rumah akan membawa dampak positif bagi perkembangan berikutnya. Jika anak telah terbiasa memanfaatkan waktu ketika berada di rumah untuk belajar, maka saat anak-anak berada di sekolah akan memanfaatkan waktu-waktunya untuk belajar. Disamping mengikuti proses belajar mengajar yang terjadwal di kelasnya. Sebaliknya jika kebiasaan belajar di rumah tidak ditanamkan oleh kedua orang tuanya. Apakah dapat dijamin bahwa anak-anak tersebut akan memperoleh prestasi yang baik ?
Atas dasar pernyataan tersebut di atas, maka dapat diidentifikasikan permasalahannya sebagai berikut : “ Apakah kebiasaan belajar di rumah dapat meningkatkan prestasi hasil belajar siswa di sekolah bagi siswa Kelas X 8 SMA Negeri 5 Karawang ?
B. Pembatasan Masalah Penelitian
Di bawah ini ada beberapa istilah yang berkaitan dengan masalah tersebut di atas untuk dijelaskan sebagai berikut:
1. Kebiasaan dalam belajar atau classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan reflex baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya reflex tersebut (Terrace, 1973). Belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi / materi pelajaran. (Muhibbin Syah, 2010, hlm. 87) Belajar kebiasaan adalah proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru atau perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Belajar kebiasaan, selain menggunakan perintah, suri teladan dan pengalaman khusus, juga menggunakan hukuman dan ganjaran. Tujuannya agar siswa memeroleh sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan perbuatan baru yang lebih tepat dan positif dalam arti selaras dengan kebutuhan ruang dan waktu (kontekstual). (Muhibbin Syah, 2010, hlm. 121-122)
5
Dalam hal ini adalah kebiasaan yang dilakukan oleh para siswa yang senantiasa mempergunakan waktunya untuk belajar di rumah sebelum melakukan aktifitas lain baik dimasyarakat maupun ketika akan berangkat ke sekolah.
2. Prestasi hasil belajar adalah adanya perubahan sikap dan tingkah laku yang terjadi pada siswa sebelum belajar dan setelah belajar. Yakni adanya peningkatan pada pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dimiliki oleh siswa dengan dibuktikan perolehan angka-angka yang ada pada raport atau hasil tes siswa terjadinya peningkatan. Disamping itu siswa telah dinyatakan tuntas dalam belajar dan mendapatkan promosi yakni lulus atau naik kelas.
C. Perumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah dibatasi tersebut di atas, maka perumusan masalah yang diajukan adalah “ Apakah kebiasaan belajar di rumah dapat meningkatkan prestasi hasil belajar siswa di sekolah bagi siswa Kelas X 8 SMA Negeri 5 Karawang”.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Pentingnya masalah tersebut diteliti, karena prestasi hasil belajar tidak bisa dibentuk secara tiba-tiba.
b. Mengungkapkan dan membahas proses prestasi hasil belajar siswa bagi yang terbiasa melakukan kegiatan belajar di rumah.
c. Sepengetahuan penulis masalah tersebut belum ada yang membahas.
2. Kegunaan Penelitian
a. Manfaat bagi Guru
1) Mampu membantu guru dalam mempercepat proses penyampaian materi pelajaran dari kesiapan belajar yang dilakukan siswa sejak dari rumah.
2) Bagi guru menghadapi siswa yang telah terbiasa belajar sejak dari rumah akan lebih mudah dibanding siswa yang tidak terbiasa belajar.
b. Manfaat bagi Siswa
1) Dengan semakin canggih pengaruh globalisasi yang masuk dalam dunia pendidikan, maka akan semakin menarik dan tertantang bagi siswa untuk mengadakan persiapan-persiapan diri terutama dalam meraih cita-citanya,
6
sehingga waktu yang ada ketika bersama dengan keluarga di rumah akan dipergunakan untuk belajar dengan baik.
2) Siswa dapat merasakan hasil dari kegiatan tersebut dengan lebih menyenangi materi pelajaran, karena apa yang disampaikan oleh guru mudah dimengerti dan diterima serta memacu untuk berprestasi.
c. Manfaat bagi Sekolah
1) Kendala menyediakan dana untuk membeli alat dalam menyampaikan materi pelajaran tidak akan dijadikan hambatan, jika pemanfaatan alat tersebut mampu membantu proses tercapainya materi pembelajaran yang dirasakan oleh para siswa dan berimbas bahwa sekolah tersebut berhasil memanfaatkan teknologi canggih termasuk dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam.
2) Sekolah sesuai dengan visi dan misinya mampu mengaplikasikan keberhasilan memanfaatkan teknologi canggih, yang berarti mutu pendidikan yang dikelolanya meningkat.
d. Manfaat bagi Pembaca
1) Setiap ada tambahan pengalaman berarti bertambahnya wawasan. Semakin banyak pengalaman yang didapat akan semakin memperkaya khasanah ilmu
yang dimiliki, sehingga bagi yang berminat dan turut mengikuti perkembangan akan tertarik untuk melakukan hal yang sama.
2) Khusus yang tertarik dengan dunia penelitian, maka tidak ada salahnya jika cara-cara tersebut diteliti lebih mendalam dan akan terus menjadi kajian yang actual dan tertantang.
e. Manfaat bagi Pemerintah
1) Semakin banyak ditemukan metode-metode yang mempermudah proses pembelajaran, maka akan semakin banyak temuan-temuan baru yang bisa bekembang menjadi sebuah teori.
2) Teori dapat bertahan jika hasil teori diekspose kedalam mass media atau sebuah jurnal pendidikan, kemudian dimasukkan ke dalam kurikulum yang dapat dipergunakan dikalangan pendidikan.
7
3) Bagi program penyedia guru Pendidikan Agama Islam, akan menjadi pertimbangan dan masukan untuk diujicobakan, hingga manfaatnya dapat dirasakan dan diaplikasikan saat menjadi guru.
E. Kerangka Pemikiran
Setiap siswa yang telah mengalami proses belajar kebiasaan-kebiasaannya akan tampak berubah. Menurut Burghardt (1973), kebiasaan itu timbul karena proses penyusutan kecenderungan respons dengan menggunakan stimulasi yang berulang-ulang. Dalam proses belajar, pembiasaan juga meliputi pengurangan perilaku yang tidak diperlukan. Karena proses penyusutan/pengurangan inilah, muncul suatu pola bertingkah laku baru yang relative menetap dan otomatis. (Muhibbin Syah, 2010, hlm. 116-117)
Belajar kebiasaan adalah proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru atau perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Belajar kebiasaan, selain menggunakan perintah, suri teladn dan pengalaman khusus, juga menggunakan hukuman dan ganjaran. Tujuannya agar siswa memeroleh sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan perbuatan baru yang lebih tepat dan positif dalam arti selaras dengan kebutuhan ruang dan waktu (konstektual). Selain itu, arti tepat dan positif di atas ialah selaras dengan norma dan tata nilai moral yang berlaku, baik yang bersifat religious maupun tradisional dan cultural. Belajar kebiasaan akan lebih tepat dilaksanakan dalam konteks pendidikan keluarga. (Muhibbin Syah, 2010, hlm. 121-122)
Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tntang Sistem Pendidikan Nasional Bagian Keenam Pendidikan Informal Pasal 27 ayat (1) Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Belajar adalah key term (istilah kunci) yng vital dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tidak pernah ada pendidikan. (Muhibbin Syah, 2010, hlm. 93)
Skinner, seperti yang dikutip Barlow (1985) dalam bukunya Educational Psychologi : The Teaching-Learing Process, berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif. Pendapat ini diungkapkan dalam pernyataan ringkasnya bahwa belajar adalah … a process of progressive behavior adaptation. Berdasarkan eksperimennya B.F. Skinner percaya bahwa proses adaptasi tersebut akan mendatangkan hasil yang optimal apabila ia diberi penguat (reinforcer). (Muhibbin Syah, 2010, hlm. 88)
In put (Belajar) → Siswa → Out put ( Berprestasi)
F. Hipotesa
Ada hubungan kebiasaan belajar di rumah dengan peningkatan prestasi hasil belajar siswa di sekolah bagi siswa Kelas X 8 SMA Negeri 5 Karawang.
BAB II
LANDASAN TEORITIS TENTANG BELAJAR
A. Pengertian
Allah Swt. brfirman sebagai berikut :
Artinya “ tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.(Q.S at-Taubah : 122)
Termasuk karunia Alah Swt., disamping nikmat persepsi dan berfikir, manusia dibekali pula dengan kesiapan alamiah untuk belajar serta memperoleh ilmu, pengetahuan, keterampilan, dan keahlian. Belajar menjadikan manusia memiliki kemampuan lebih dalam mengemban tanggung jawab hidup dan memakmurkan bumi. Selain itu, belajar juga memungkinkan manusia mengembangkan kemampuan dan keterapilannya dengan jaminan manusia dapat mencapai kesempurnaan insane yang luar biasa. (Muhammad Utsman Najati, 2005, hlm. 251)
Bagaimanakah pandangan agama khususnya Islam terhadap belajar, memori, dan pengetahuan ? Agaknya tiada satupun agama, termasuk Islam, yang menjelaskan secara rinci dan operasional mengenai proses belajar, proses kerja system memori (akal), dan proses dikuasainya pengetahuan dan keterampilan oleh manusia. Namun Islam, dalam hal penekanannya terhadap signifikansi fungsi kognitif (akal) dan fungsi sensori (indera-indera) sebagai alat-alat penting untuk belajar, sangat jelas. Kata-kata kunci, seperti ya’qiluun, yatafakkaruun, yubshiruun,
8
9
yasma’uun dan sebagainya yang terdapat dalam al Qur’an, merupakan bukti betapa pentingnya penggunaan fungsi ranah cipta dan karsa manusia dalam belajar dan meraih ilmu pengetahuan. (Muhibbin Syah, 2010, hlm. 98-99)
Abdurrahman Saleh Abdullah dalam Teori-teori Pendidikan berdasarkan Al-Qur’an mengatakan bahwa “ Hilm dengan bentuk jama’nya ahlam di dalam al Qur’an ada satu ayat yang menunjukkan daya fikir. Izutsu menyebut hilm bukan sinonim yang sempurna dari aql , hilm lebih komprehensif darpada aql, karena hilm mengandung mengandung pengertian yang sangat mendasar dari daya fikir dan intelek, maka bukan merupakan sinonim, karena aql lebih sempit pengertiannya. Akan tetapi secara praktis, kedua istilah aql dan hilm menjadi serupa benar pengertiannya. (Abdurrahman Saleh Abdullah, 2007, hlm. 98)
Allah Swt. berfirman sebagai berikut :
Artinya “ (apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Q.S Az-Zumar : 9)
Rasulullah Saw. bersabda sebagai berikut :
Artinya “ Barangsiapa menempuh jalan yang padanya ia menuntut ilmu maka Allah menempuhkannya jalan ke syurga “. (H.R Muslim dari Abu Hurairah)
Selanjutnya pada Hadis yang lain Rasulullah Saw. bersabda :
Artinya “ Ilmu itu gudang, kuncinya adalah bertanya. Ketahuilah maka bertanyalah. Sungguh padanya diberi pahala empat orang, yaitu : penanya, orang yang berilmu, pendengar dan orang yang senang kepada mereka “. (H.R Ath-Thabrani, Ibnu Mardawaih, Ibnu Sunni dan Abu Na’im dari hadis Jabir dengan sanad yang lemah).
10
Chaplin (1972) dalam Dictionary of Psychology membatasi belajar dengan dua macam rumusan. Rumusan pertama berbunyi : “ … acquisition of any relatively permanent change in behavior as a result of practice and experience “ (Belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relative menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman). Rumusan keduanya adalah process of acquiring responces as a result of special practice (Belajar ialah proses memperoleh respon-respon sebagai akibat adanya latihan khusus). (Muhibbin Syah, 2003, hlm. 65)
S. Nasution mengatakan bahwa “ Belajar berlangsung dalam empat fase, yakni (1) fase apprehending (mampu menangkap stimulus); (2) fase acquisition (kesanggupan memperoleh sesuatu); (3) fase storage (mampu menyimpan apa yang didapat); (4) fase retrieval (mengemukakan kembali apa yang tersimpan. (S. Nasution, 1982, hlm. 140)
Hasan Langgulung mengatakan bahwa ada tiga syarat pokok yang harus wujud supaya belajar bisa terjadi. Pertama harus ada rangsangan. Kedua, benda hidup haruslah mengadakan respons kepada rangsangan itu. Dan ketiga, haruslah respon itu diteguhkan seperti dengan ganjaran benda atau bukan benda supaya respon itu dibuat lagi dalam suasana yang sama pada masa yang akan datang, atau ditinggalkan kalau respon itu diteguhkan secara negative. (Hasan Langgulung, 2003, hlm. 245)
Menurut Bruner, dalam proses belajar dapat dibedakan tiga fase atau episode, yakni (1) informasi, (2) transformasi, (3) evaluasi. … Dalam proses belajar ketiga episode ini selalu terdapat yang menjadi masalah ialah berapa banyak informasi diperlukan agar dapat ditransformasi. Lama tiap episode tidak selalu sama. Hal ini antara lain juga bergantung pada hasil yang diharapkan, motivasi murid, minat, keinginan untuk mengetahui dan dorongan untuk menemukan sendiri. (S. Nasution, 1982, hlm. 9-10)
Menurut Wittig (1981) dalam bukunya Psychology of Learning, setiap proses belajar selalu berlangsung dalam tiga tahapan.
a. Acquisition (tahap perolehan/pnerimaan informasi).
b. Storage (tahap penyimpanan infomasi).
11
c. Retrival (tahap mendapatkan kembali informasi). (Muhibbin Syah, 1997, hlm. 114)
Allah Swt. berfirman sebagai berikut :
Artinya “ 1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S al ‘Alaq : 1-5)
Bila kita kaitkan perintah membaca itu sebagai tugas, dan kita sependapat bahwa makna ayat itu adalah sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. diperintah untuk membaca bismillaah ketika membaca al Qur’an, maka makna ayat ini adalah ; Bila engkau hendak membaca, maka bacalah terus-menerus sehingga bacaanmu menjadi amal yang bisa sampai kepada Allah dan bukan kepada lain-Nya. Seandainya seseorang membaca dan bacaannya dikhususkan untuk Allah dan bukan untuk selain-Nya, sedangkan ia tidak menyebut nama Allah, maka ia adalah membaca dengan nama Allah. Penyebutan nama Allah itu dituntut dengan lisan agar dapat menggugah hati pada awal setiap amal sehingga selama melaksanakan amal hati selalu terkait kepada Allah dan selalu mengingat nama Allah dan bukan nama lain-Nya. (al Ustadz Muhammad Abduh, 2000, hlm. 229)
Menurut Wajidi Sayadi bahwa membaca dengan menggunakan fasilitas akal berarti berusaha mengembankan intelektualitas. Sedangkan sujud mnggunakan fasilitas kalbu (jiwa) akan membangun akhlak al-karimah dan memperkuat rasa ketundukan. (Wajidi Sayadi, 2009, hlm. 14-15)
12
Adapun pengertian belajar secara kualitatif (tinjauan mutu) ialah proses memperoleh arti-arti dan pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia di sekeliling siswa. Belajar dalam pengertian ini difokuskan pada tercapainya daya fikir dan tindakan yang berkualitas untuk memecahkan masalah-masalah yang kini dan nanti dihadapi siswa. (Muhibbin Syah, 2003, hlm. 68).
B. Teori-teori Proses Belajar
Apakah proses belajar itu ? Bagaimanakan ia terjadi ? Kenapakah pelajar membuat respons kepada usaha guru ? Persoalan-persoalan seperti ini menarik bagi para pembuat-pmbuat teori psikologi dan praktisioner dalam pendidikan. Walaupun tidak satupun teori belajar yang diambil dan hasil penyelidikan itu untuk menerangkan keseluruhan aktivitas belajar di kelas, atau dimana saja, namun ada teori-teori dasar yang dapat menerangkan tingkah laku belajar yang kita saksikan dalam kelas atau dimana saja. (Hasan Langgulung, 2003, hlm. 246)
Ahli matematika, fisika, biologi dan ilmuwan lainnya menekankan nilai intuisi dalam pemecahan masalah. Seorang dikatakan berfikir intuitif, bila ia telah lama memikirkan suatu soal dan secara tiba-tiba melihat pemeahannya. Disamping itu dikatakan bahwa seorang berfikir intuitif, bila ia dengan cepat dapat mengemukakan terkaan-terkaan yang baik dan tepat. Menurut kamus Webster, intuisi berarti pemahaman yang segera. Benar tidaknya intuisi itu masih harus diselidiki dengan cara analitis. (S. Nasution, 1982, hlm. 10)
Muhibbin Syah dalam Psikologi Pendidikan mengatakan bahwa “ Secara pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupkan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Diantara sekian banyak teori yang berdasarkan hasil eksperimen terdapat tiga macam yang sangat menonjol, yakni connectionism, classical conditioning dan operant conditioning. (Muhibbin Syah, 2010, hlm. 102-103)
13
Dari segi sejarah, dapat kita klasifikasikan teori-teori belajar itu kepada dua golongan besar :
1. Teori-teori assosiasi, termasuk teori-teori cabang utama dalam behaviorisme;
2. Teori-teori lapangan, termasuk teori-teori cabang utama dalam kognitivisme. (Hasan Langgulung, 2003, hlm. 246)
1. Teori belajar assosiasi
Ahli-ahli fikir assosiasi mendefinisikan proses belajar itu menurut persyaratan tingkah laku. Penekanan diberi kepada persyaratan klasik dan persyaratan operant. Persyaratan klasik dapat dipandang sebagai penggantian rangsangan dalaman, sesudah banyak pasangan rangsangan-rangsangan bersyarat dan tak bersyarat, maka rangsangan bersyarat mulai mengeluarkan respon yang sebelumnya hanya berlaku dengan adanya rangsangan tak bersyarat… Persyaratan operant didefinisikan menurut akibat tingkah laku sukarela atau yang muncul tanpa rangsangan yang diketahui. Akibat-akibat yang member ganjaran dalam cara tertentu menyebabkan bahwa suatu tindakan akan diulangi. Bila pengulangan ini berlaku, maka dikatakanlah bahwa telah berlaku peneguhan (reinforcement) positif atau negative. (Hasan Langgulung, 2003, hlm. 247-248)
Dalam pengalaman sehari-hari, kita memiliki kesan seakan-akan apa-apa yang kita alami dan kita pelajari tidak seluruhnya tersimpan dalam akal kita. Padahal, menurut teori kognitif apa yang kita alami dan kita pelajari, kalau memang system akal kita mengolahnya dengan cara yang memadai, semuanya akan tersimpan dalam subsistem akal permanen kita. (Muhibbin Syah, 2003, hlm. 169)
Faktor-faktor penyebab lupa :
a. Lupa dapat terjadi karena gangguan konflik antara tem-item informasi atau materi yang ada dalam system memori siswa.
b. Lupa dapat terjadi pada seorang siswa karena adanya tekanan terhadap item yang telah ada baik sengaja ataupun tidak.
c. Lupa dapat terjadi pada siswa karena perubahan situasi lingkungan antara waktu belajar dengan waktu mengingat kembali.
14
d. Lupa dapat terjadi karena perubahan sikap dari minat siswa terhadap proses dan situasi belajar tertentu.
e. Lupa dapat terjadi karena materi pelajaran yang telah dikuasai tidak pernah digunakan atau dihafalkan siswa.
f. Lupa dapat terjadi karena perubahan urat syaraf otak. (Muhibbin Syah, 2003, hlm. 171-173)
2. Teori-teori Lapangan
Ahli teori-teori lapangan memandang prinsip-prinsip assosiasi dan berbagai bentuk persyaratan dan rangsangan-respons itu tidak lengkap. Sebaliknya, mereka menekankan organisasi total yang disebutnya lapangan, yang terdiri dari :
a. Banyak rangsangan.
b. Rangsangan-rangsangan ini bergabung dalam pola-pola yang bermakna.
c. Reaksi makhluk hidup.
d. Makhluk hidup itu sendiri. (Hasan Langgulung, 2003, hlm. 248)
Pandangan para ahli psikologi Gestalt tentang belajar berbeda dengan ahli psikologi asosiasi. Psikologi Gestalt memandang bahwa belajar terjadi bila diperoleh insight (pmahaman). Insight timbul secara tiba-tiba, bila individu telah dapat melihat hubungan antara unsure-unsur dalam situasi problematic. Dapat pula dikatakan bahwa insight timbul pada saat individu dapat memahami struktur yang semula merupakan suatu masalah. Dengan kata lain insight adalah semacam reorganisasi pengalaman yang terjadi secara tiba-tiba, seperti ketika seseorang menemukan ide baru atau menemukan pemecahan masalah. (Gagne, 1970 : 14)
Prinsip yang menyatukan di kalangan ahli-ahli teori lapangan adalah pengamatan pelajar sendiri terhadap lingkungannya dan penemuan pribadinya terhadap makna dalam suatu suasana. Tingkah laku belajar harus diterangkan menurut sifat menyeluruhnya masalah itu. Manusia tidak mengadakan respons kepada rangsangan yang terpisah, tetapi kepada seperangkat rangsangan atau pola rangsangan. Mereka tidak mengadakan respons kepada rangsangan tunggal, tetapi kepada suatu pola rangsangan, suatu pola sebagai keseluruhan. Pendeknya, individu memilih rangsangan-rangsangan tertentu dari keseluruhan suasana itu,
15
kemana ia akan memberi reaksi, dan apa yang dipilihnya akan merubah tingkahlakunya. (Hasan Langgulung, 2003, hlm. 249)
Muhammad Utsman Najati dalam Psikologi dalam al Qur’an menyatakan tentang sumber-sumber Ilmu bahwa “ Manusia dpat memperoleh ilmu pengetahuan dari dua sumber utama : sumber Ilahiah dan sumber insaniah. Kedua jenis ilmu ini kembali kepada Allah Swt. yang telah menciptakan manusia serta melengkapinya dengan berbagai alat dan instrument yang dapat digunakan untuk persepsi dan perolehan ilmu. Ilmu yang dating dari sumber Ilahiah adalah ilmu yang secara langsung dating kepada kita dari Allah Swt. malui wahyu, ilham, atau mimpi yang benar. Adapun ilmu yang dating dari sumber insaniah adalah ilmu yang dipelajari manusia dari pengalaman-pengalaman pribadinya dalam kehidupan, kesungguhannya dalam eksplorasi, observasi, upaya mengatasi berbagai masalah yang menghadang dengan cara trial and error, atau melalui pengalaman praktis”. (Muhammad Utsman Najati, 2005, hlm. 251-252)
Selanjutnya dikatakan pula dalam cara-cara belajar menurut al Qur’an bahwa “ Manusia akan belajar dengan cara yang berbeda-beda. Kadang-kadang manusia belajar dengan cara meniru (imitation). Seorang anak akan meniru kedua orang tuanya serta belajar berbagai kebiasaan dan pola perilaku mereka. Melalui pengalaman praktis atau tril and error, manusia juga akan belajar banyak mengenai cara-cara yang berguna dalam mengatasi berbagai problema kehidupannya dan bermacam urusan penghidupannya. Adakalanya manusia juga belajar melalui pemikiran dan membuat konklusi logis “. (Muhammad Utsman Najat, 2005, hlm. 258)
Allah Swt. berfirman sebagai berikut :
Artinya “ kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya[1]. berkata Qabil: "Aduhai celaka Aku, mengapa
16
aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal “. (Q.S. al Maidah (5) : 31)
[1] Dipahami dari ayat ini bahwa manusia banyak pula mengambil pelajaran dari alam dan jangan segan-segan mengambil pelajaran dari yang lebih rendah tingkatan pengetahuannya.
Pada ayat yang lain Allah Swt. berfirman sebagai berikut :
Artinya “ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (Q.S. Al Ahzab (33) : 21)
Selanjutnya Muhammad Utsman Najati mengatakan dalam cara-cara belajar melalui pengalaman praktis dan trial and error menyebutkan bahwa “ Manusia juga akan belajar menghadapi dan mencoba mengatasi problema kehidupan yang beragam melalui pengalaman praktis dan trial and error. Dalam kehidupannya, manusia selalu menghadapi situasi-situasi baru yang belum dipelajari bagaimana merespons situasi atau bagaimana menyikapi situasi-situasi bari tersebut. Kdang-kadang beberapa respons itu keliru dan kadang-kadang pula tepat. Demikianlah manusia, melalui apa yang oleh para psikolog modern dinamai trial and error (proses conditioning), manusia senantiasa belajar tentang respons-respons baru dalam menyikapi situasi-situasi baru serta dalam mengatasi problematika kehidupan praktis yang dihadapinya. (Muhammad Utsman Najati, 2005, hlm. 262)
Allah Swt. berfirman sebagai berikut :
Artinya: “ mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai”. (Q.S. Ar-Rum (30) : 7)
17
Manusia juga belajar melalui berfikir. Ketika seseorang berfikir untuk memecahkan masalah tertentu, pada hakikatnya ia sedang melakukan semacam trial and error secara intelektual. Dalam benaknya, terlintas beberapa solusi yang salah atau tidak tepat. Selanjutnya, ia akan memilih solusi yang dipandangnya tepat dan benar. Jadi, dengan berfikir, seseorang belajar membuat solusi baru atas berbagai persoalan. Dengan berfikir, seseorang juga dapat mengungkapkan korelasi antara berbagai objek dan peristiwa, menelurkan prinsip dan teori baru, serta menemukan berbagai penemuan baru. Oleh karena itu, para psikolog menyebut proses berfikir sebagai proses belajar tingkat tinggi.
Allah Swt. berfirman sebagai berikut :
Artinya : “ dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka “. (Q.S. Asy-Syura (42) : 38)
Allah Swt. berfirman :
Artinya : “ 17. Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan,18. dan langit, bagaimana ia ditinggikan?19. dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? 20. dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (Q.S. al Ghasyiyah (88) : 17-20)
Adapun prinsip-prinsip belajar menurut al Qur’an adalah sebagai berikut :
a. Motivasi
b. Pengulangan
c. Perhatian
d. Partisipasi aktif
18
e. Pembagian belajar
f. Perubahan perilaku secara bertahap. (Muhammad Utsman Najati, 2005, hlm. 268-302)
Meskipun secara teoritis belajar dapat dirtikan sebagai perubahan tingkah laku, namun tidak semua perubahan tingkah laku organism dapat dianggap belajar. Perubahan yang timbul karena proses belajar sudah tentu memiliki cirri-ciri perwujudan yang khas. Diantara cirri-ciri perubahan yang khas yang menjadi karakteristik perilaku belajar adalah :
a. perubahan itu intensional;
b. perubahan itu positif dan aktif;
c. perubahan itu efektif dan fungsional. (Muhibbin Syah, 2003, hlm. 117)
Manifestasi atau perwujudan perilaku belajar biasanya lebih sering tampak dalam perubahan-perubahan sebagai berikut :
a. kebiasaan
b. keterampilan
c. pengamatan
d. berfikir assosiatf dan daya ingat
e. berfikir rasional dan daya kritis
f. sikap
g. inhibisi
h. apresiasi
i. tingkah laku afektif. (Muhibbin Syah, 2010, hlm. 116-119)
Pada umumnya orang melakukan usaha atau bekerja dengan harapan memeroleh hasil yang banyak tanpa mengeluarkan biaya, tenaga, dan waktu yang banyak pula, atau dengan kata lain efisien. Efisien adalah sebuah konsep yang mencerminkan perbandingan terbaik antara usaha dengan hasilnya (Gie, 1985). Dengan demikian, ada dua macam efisiensi yang dapat dicapai siswa, yaitu :
a. efisiensi usaha belajar
b. efisiensi hasil belajar. (Muhibbin Syah, 2010, hlm. 123)
19
Efisiensi dari sudut usaha belajar dapat digambarkan model berikut :
MODEL 1
Efisiensi dari Sudut Usaha Belajar
Usaha Badu
Belajar
Usaha Tuty Prestasi
Belajar Belajar
Usaha Ibnu
Belajar
Model 1 tersebut di atas memperlihatkan kepada kita bahwa Ibnu lebih efisien daripada Tuti dan Badu, karena dengan usaha yang minim dapat mencapai hasil belajar yang sama tingginya dengan prestasi beljar Tuti dan Badu. Padahal, Tuti dan Badu telah berusaha lebih keras daripada Ibnu. (Muhibbin Syah, 2010, hlm. 124)
Selanjutnya, sebuah kegiatan belajar dapat pula dikatakan efisien apabila dengan usaha belajar tertentu memberikan prestasi belajar tinggi. Untuk lebih jelasnya, perhatikan model 2 berikut ini :
MODEL 2
Efisiensi dari Sudut Hasil Belajar
Badu Prestasi
rendah
Usaha Tuty Prestasi
Belajar sedang
Ibnu Prestasi
tinggi
20
Model 2 di atas memperlihatkan bahwa Ibnu adalah siswa yang efisien ditinjau dari prestasi yang dicapai, karena ia menunjukkan perbandingan yang terbaik dari sudut hasil. Dalam hal ini, meskipun usaha belajar Ibnu sama besarnya dengan usaha Tuti dan Badu (lihat kotak usaha belajar), ia telah memeroleh prestasi yang optimal atau lebih tinggi daripada prestasi Tuti dan Badu. (Muhibbin Syah, 2010, hlm. 124)
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Nashih Ulwan, 1995, Pendidikan Anak Dalam Islam, Jakarta : Pustaka Amani.
Abdul Fattah Jalal, 1988, Azas-azas Pendidikan Islam, Bandung : Diponegoro
Abdurrahman Saleh Abdullah, 2007, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an,
Jakarta : Renika Cipta.
Ahmad Tafsir, 2010, Filsafat Pendidikan Islami, Bandung : Remaja Rosdakarya.
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : Al-Ma’arif.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, 1997, Jakarta : Wacana Logos.
Departemen Agama RI, 2000, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta : Yayasan
Penerjemah Al-Qur’an.
Fathiyah Hasan Sulaiman, 1990, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, Jakarta : Guna Aksara
Hasan Langgulung, 2003, Azas-azas Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka al Husna Baru.
Imam al Ghazali, 2003, Ihya ‘Ulumuddin, (Terjem. M. Zuhri), Semarang : Asy-Syifa.
Imam al Mundziri, 2003, Ringkasan Shahih Muslim, Jakarta : Pustaka Amani.
M. Arifin, 2009, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara.
Muzayyin Arifin, 2009, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara.
Muhammad Ali, 2004, Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung : Agensindo.
Muhammad Quthb, 1984, Sistem Pendidikan Islam, (Terjem) Salman Harun, Bandung :
Al- Ma’arif.
Muhammad Utsman Najati, 2005, Psikologi dalam Al-Qur’an, Bandung : Pustaka Setia.
Muhibbin Syah, 2009, Psikologi Belajar, Jakarta : Rajagrafindo.
Muhibbin Syah, 2010, Psikologi Pendidikan, Bandung : Remaja Rosdakarya.
Nurwadjah Ahmad E.Q., 2010, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, Bandung : Marja.
Prijo Darmanto dan Pujo Wiyoto,2007, Kamus Prima Bahasa Indonesia,Surabaya : Arkola
S. Nasution,1982,Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar,Jakarta : Bina
Aksara.
Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bandung :
Fokusmedia.
Zakiah Daradjat, 2008, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta : Bumi Aksara.
Nama : Drs. AGUS SUBANDI
NIP : 19620416 198503 1 011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar